SERBA SERBI SAMBAL ( Introducing " LOMBOK GALAK ", sambal kemasan )

Siapa sih orang Indonesia yang nggak mengenal sambal ?... dari yang sambal korek, sambal terasi, sambal setan,..dll,.....Sambal adalah istilah besar yang dalam kuliner Indonesia merujuk pada saus pedas. Secara garis besar, sambal berbahan utama cabai yang dilumatkan sehingga keluar kandungan sari cabe dan ditambah bahan-bahan lain seperti garam dan terasi.

Sambal merupakan salah satu unsur khas hidangan Indonesia. Sambal juga ditemukan dalam kuliner Asia Selatan dan Asia Timur. Ada bermacam-macam variasi sambal yang berasal dari berbagai daerah. source : https://id.wikipedia.org/wiki/Sambal

Bagi orang Indonesia, sambal tentunya sudah menjadi teman makan yang paling setia. Tak lengkap rasanya menyantap makanan tanpa tambahan sambal. Rasanya yang pedas ini bisa membuat orang ketagihan sehingga menambah porsi makan. Sambal memang bisa membuat nafsu makan orang bertambah. Selain itu, sambal juga bermanfaat untuk memperlancar sirkulasi darah, memperbaiki mood, membuat tidur lebih nyenyak, menyehatkan jantung, menurunkan berat badan, dan masih banyak lagi. Tapi tahukah kamu kalau sambal yang memiliki banyak manfaat ini sudah ada sejak kapan?

Pada awalnya, cabai yang merupakan bahan baku utama sambal ini berasal dari Suku Inca dan Suku Maya yang ada di Amerika serta Suku Aztek yang ada di Meksiko. Cabai dibudidayakan di negara tersebut, kemudian dibawa oleh Christophorus Colombus hingga tersebar di benua Eropa. Setelah menjadi komuditas dagang di Eropa, cabai kemudian dibawa oleh pelaut Portugis ke pulau Maluku dan mulai dibudidayakan di Indonesia. Pada masa penjajahan Portugis, cabai belum diolah menjadi sambal seperti yang ada sekarang. Baru pada masa penjajahan Belanda, sambal diciptakan oleh salah seorang pelayan VOC yang namanya tidak diketahui hingga sekarang.


Jacob de Bondt alias Bontius, dokter VOC yang juga dokter pribadi Jan Pieterszoon Coen pernah menyebut adanya Ricino Brasiliensi atau lada Chili vocato. Menurutnya ini adalah lombok, cabai merah atau yang dikenal sebagai cabai Brazil. Orang Brazil sendiri menyebutnya Chili lada. Sementara itu ada yang berpendapat bahwa asal kata nama ricino dari recche atau reche berasal dari bahasa Portugis. Kata ini mengingatkan kita pada kata rica yang juga mengacu pada cabai atau lombok. Tentu kita ingat ‘rica-rica’, masakan khas Menado. Namun, kata reche menurut pendeta P.J Veth tidak ditemui dalam kamus Portugis. Veth berpendapat bahwa yang disebut Spaanse peper, cabai Spanyol adalah Capsicum alias cabai Brazil. Pendapatnya ini juga menolak anggapan bila cabai dibawa oleh orang Portugis dari West Indien/Hindia Barat (Amerika Tengah dan Selatan) ke Hindia Timur pada penghujung abad ke-16.

Pendapat Veth beralasan bahwa cabai pun telah ada sebelumnya. Seperti yang diungkapkan oleh arkeolog Titi Surti Nastiti bahwa cabai pada masa Jawa Kuno telah menjadi komoditas perdagangan yang langsung dijual. Bahkan menurut Nastiti dalam teks Ramayana dari abad ke-10, cabai juga sudah disebut sebagai salah satu contoh jenis makanan pangan.

Namun, setidaknya kata reche atau ritsjes pernah populer pada 1669 yang dapat diketahui dari syair Van Overbeeke di Batavia:
“Soya, Gengber, Loock en Ritsjes
Maeckt de maegh wel scharp en spitsjes”.
(Kedelai, jahe, bawang putih dan cabai
Membuat perut melilit karena pedas dan diaduk-aduk)

Pendeta Valentijn pun menyebutkan ada tiga jenis cabai merah. Yaitu cabai merah besar, cabai merah kecil dan cabai kecil yang berwarna kekuningan.

Para budak pada masa VOC yang mahir membuat sambal mendapatkan tempat ‘khusus’ karena disenangi para majikannya. Bisa jadi ‘harga pasaran’ mereka menjadi cukup tinggi.

Sementara itu dalam turisme, sambal pun mendapat catatan tersendiri. Dalam beberapa buku panduan turisme dituliskan peringatan kepada para calon turis untuk “berhati-hati” dalam mengkonsumsi sambal yang pedas karena ini berurusan dengan kesehatan perut. Tentu tidak akan mengesankan bila liburan terganggu karena masuk rumah sakit gara-gara menikmati sesendok sambal.

Namun, tetap saja ada juga turis yang tetap nekat ingin mencicipi. Seperti pengalaman dari Justus van Maurik, pengusaha cerutu asal Amsterdam yang mengunjungi Batavia akhir abad ke-19. Ia menuturkan: “ Salah satu dari hidangan dalam rijsttafel yang menarik perhatian saya adalah Spaanse peper (lada Spanyol/cabai rawit). Suatu kali saya pernah melihat seorang nona muda dengan pipinya yang kemerahan menikmati lada spanyol seperti menikmati permen bon-bon. Matanya tidak berair. Rasanya, saya tak akan bisa menikmati hidangan itu seperti dirinya karena saya pernah merasakan pedasnya Lombok setan itu. Mulut saya terbuka dan mata sepertinya mau keluar karena rasa panas dan pedas. Rasanya mau meledak. Ini semua gara-gara rasa penasaran dan bisikan pelayan yang menawari saya sambil berbisik: Sambal, toewan?”

Demikian pula pengalaman jurnalis perempuan yang juga seorang guru, Augusta de Wit yang juga mengunjungi Batavia. Pengalamannya yang tak akan terlupakan adalah ketika ia untuk pertama kali mencicipi sambal. Bibirnya langsung gemetar kepedasan. Leher terasa panas seperti terbakar sehingga harus diguyur air. Sementara itu air mata bercucuran. Untunglah ada seorang pengunjung yang kasihan dan menyarankan agar ia menaruh sedikit garam di lidah. Ia pun menuruti nasihat itu dan tak lama kemudian siksaan itu berakhir. Sambil terengah-engah, ia bersyukur ia masih hidup. Ia pun bersumpah tidak mau mencoba rijsttafel lagi. Namun, ternyata ia melanggar sumpahnya tersebut. Ia malah suka dan terbiasa dengan hidangan pedas itu.

Louis Couperus dalam Oostwaarts (1992, 1924) mengingatkan para turis yang belum pernah mencicipi dasyhatnya sambal oelek untuk berhati-hati. “Sebaiknya,” tulis Couperus, “…sambal itu jangan dicampur di nasi, tetapi letakkan di pinggir piring.” Lalu “Setiap suap nasi yang diiringi daging ayam, sapi atau ikan dicocolkan sedikit sambal.”

Memang selain garam, sebagai cara menghilangkan rasa pedas membakar di mulut, dianjurkan meneguk susu, yoghurt. Jangan minum air apalagi air es. Bergelas-gelas air tak akan mampu memadamkan panasnya cabai. Selain susu, bisa juga dengan mengunyah roti, kerupuk, nasi tapi tentunya jangan dicocolkan ke sambal lagi.

Dalam buku resep lama, Groot Nieuw Volledig Oost-Indisch Kookboek karya J.M.J Catenius van der Meijden (1903) yang juga buku pegangan wajib para perempuan Belanda sebelum datang ke Hindia, tercantum resep “Sambal Bajak”. Sambal ini berpenampilan kasar, persis sawah yang baru dibajak. Atau “Sambal Serdadu”, sambal terasi yang khusus disiapkan untuk bekal para serdadu pada saat ekspedisi atau bertempur. Bahkan pada masa itu, para keluarga Indonesi ada yang gemar mengoleskan sambal sebagai beleg (isi roti) di atas rotinya.

Demikian sekelumit sejarah sambal di Nusantara, yang terus berkembang sampai hari ini, menghasilkan varian2 rasa yang lainnya tiap hari.

Salah satunya sambal yang ini :





Variantnya : 

1. Sambal Bawang Original , 22K

2. Sambal Babi Cumy, 27K

3. Sambal Teri, 24K


Pemesanan bisa hubungi : Dini , 081390354330



Comments

Popular posts from this blog

ARSITEKTUR GEREJA ST YUSUF

5 Cara Hemat Ini Untuk Membangun Rumah Idaman !!!

Mencicipi Kesegaran dan Kelezatan " TITENI DAPURKYU "..... Kuliner semarangan